Kamis, 08 Januari 2015

BAB VI: Kembalinya Para Skinheads

          Memasuki pertengahan dekade 70-an Skinhead hampir sama sekali hilang di daratan Inggris. Kini masa telah berganti, tak ada lagi anak-anak muda berandalan yang menguasai jalan-jalan di seantero Inggris Raya, sebagian dari mereka berubah seiring betambahnya usia mereka, sebagian melanjutkan hidup menjadi orang biasa, bekerja, menikah dan punya anak, sebagian lagi tergilas zaman dan tertelan perkembangan subkultur lain.
          Tak ada lagi juga kerusuhan di teras sepakbola secara massive seperti di era 60-an dulu, tak ada lagi juga “ritual tahunan” pembantaian para Hippies, Rockers, dan Teds di tepi-tepi pantai seperti Hasting dan Brighton serta Bank Holiday. Bahkan musik reggae pun kini semakin menjauhkan diri dari Skinhead seiring dangan pergerakan paham Rastafarianisme di Jamaika. Reggae kini telah berubah menjadi musik yang hampir-hampir murni kulit hitam yang membahas tentang zion, etiophia, dan semua hal berbau afrika sehingga menghilangkan mata rantai hubungannya dengan anak-anak kelas pekerja Inggris yang rata-rata berkulit hitam, sehingga lagu-lagu kebangsaan para Skinhead seperti "Skinhead Moonstomp" pun kini tinggal kenangan.
     Namun sebenarnya Skinhead tidaklah benar-benar menghilang, karena tetap ada Skinhead yang memegang teguh semangat 69 di hatinya. Namun jumlah mereka sangatlah sedikit, bahkan di kota-kota besar seperti London dan Glasgow mencari Skinhead hampir sama dengan mencari jarum di tumpukan jerami. Ya… Skinhead benar-benar hampir habis tergilas_zaman.
            Lalu di tahun 1976 tiba-tiba sebuah pergerakan musik dan subkultur baru pun lahir di Inggris..Punk was Born and ready to kick everything down..!!! Punk sendiri sebenarnya lahir di Amerika melalui tangan band-band seperti The New York Dolls dan Ramones, namun Punk dalam pengertian subkultur lahir di Inggris. Punk adalah sebuah bentuk Rock N’ Roll paling jujur, memberontak, berani, kasar, lugas dan lantang. Musik seperti itulah yang ditunggu-tunggu oleh anak-anak muda Inggris yang frustasi dengan kehidupan yang monoton dan telah bosan dengan sampah imitasi seperti Deep Purple, Black Sabbath, Led Zepelin dan si Dewa gitar Eric Clapton.
          Micky Fitz vokalis dari The Business dikemudian hari mengatakan bahwa Punk adalah hal terhebat yang pernah terjadi dalam sejarah musik Rock di daratan Inggris. Cepat, keras, lantang, dan jujur… Itulah semangat Punk yang diusung band-band punk seperti The Stranglers, The Clash dan yang paling kontroversial…Sex Pistols. Roxy, Vortex, 100 clubs, Hope and Anchor adalah nama-nama Club yang biasa menggelar gigs Punk. Punk tiba-tiba menjadi sangat massive, mendobrak kebuntuan dan memberi alternative bagi dunia musik rock di akhir 70-an yang membosankan. Dan ketika Anarchy in The UK merajai tangga lagu di Inggris, pergerakan inipun mulai diperhitungkan oleh dunia mainstream.
        Namun di balik semua pemberontakan, kekasaran, kejujuran, dan segudang reputasi berbau mitos lainnya, Punk di era 77 bukanlah sebuah pemberontakan yang bersifat spontan dan datang dari jalanan seperti yang tampak di permukaan. Punk saat itu lebih seperti fashion yang dipakai untuk bergaya di jalan-jalan seperti Kings Road yang dilakukan setiap akhir pekan oleh penganut trend sesaat, dan para mahasiswa sekolah seni, bahkan ada yang lebih buruk lagi…Punk sangatlah bersifat kelas menengah.
Belilah sebuah jaket kulit dan lengkapi dengan patches logo Anarchy yang di jahitkan oleh ibumu di belakangnya maka kau sudah menjadi pemberontak…Benar-benar sebuah lelucon!! Punk saat itu ternyata adalah The greatest Rock N’ Roll Swindle… Ya, penipuan terbesar dalam musik Rock n’ Roll. 
           Sex Pistols pahlawan Punk dan band yang sampai saat ini di sebut-sebut sebagai salah satu band paling pemberontak di muka bumi ternyata tak lebih dari sebuah band imitasi bentukan Malcolm McLaren, seorang pengusaha kelas menengah dan pemilik butik mahal di Kings Road bernama Sex. Jhonny Rotten sang vokalis band ini tak lebih dari sekedar badut yang melakukan hal-hal tolol di depan umum demi mengangkat pamor bandnya., atau si Bodoh pecandu kokain Sid Vicious yang dengan bangganya memakai kaos bergambar swastika tanpa tahu apa arti lambang itu sebenarnya. 


          Lalu ada The Clash band yang di sebut-sebut sebagai band paling intelek diantara band-band punk era 77 ternyata tak kalah buruknya, walaupun tentunya agak sedikit lebih baik dari pada rekannya Sex Pistols. Joe strummer sang vokalis yang penganut paham komunisme ala Trotzky ternyata adalah anak seorang pejabat penting di kementrian luar negeri Inggris. Joe menghabiskan masa kecil dan remajanya tinggal di sebuah kawasan elit di London lalu kuliah di sebuah universitas mahal dan ternama ketika ia beranjak dewasa, benar-benar sebuah kontradiksi dengan lagunya White riot yang menceritakan tentang kerusuhan di daerah pemukiman kumuh kulit hitam yang jelas-jelas tak pernah di alaminya. 
          Dengan latar belakang para tokoh utamanya seperti yang dijelaskan di atas tak heran jika Punk sedikit demi sedikit berakhir menjadi bagian dari dunia musik rock mainstream, benar-benar sebuah ironi… Sebuah pergerakan budaya yang melabeli dirinya sebagai kaum yang anti kemapanan ternyata kaum yang jelas-jelas mapan dalam pengertian apapun.
          Memasuki tahun 1978 punk semakin memantapkan dirinya menjadi bagian dari dunia rock mainstream. Band-band seperti Sex Pistols, The Clash, The Stranglers, Siouxsie and The Banshees, dan lain-lain berubah dari band garage yang bermain di klub-klub kecil menjadi band rock star. Lalu sebuah slogan pun tersebar luas dikalangan Punk saat itu: PUNK IS DEAD. 
          Menjadi Punk saat itu lebih kepada menjadi groupies band-band seperti The Clash daripada benar-benar melakukan pemberontakan kepada masyarakat apalagi pemerintah yang berkuasa. Hal yang lebih buruk adalah entah siapa yang memulai nama Punk kini telah berganti menjadi New Wave. Sniffin Glue sebuah fanzine terkemuka di scene Punk saat itu mencetak isu terakhirnya dan Jhonny Rotten mengumumkan pembubaran Sex Pistols pada sebuah gigs di San Fransisco…, membuat Punk semakin terseok seok memasuki akhir dekade_70-an.
        Namun Punk sebenarnya tidaklah seburuk itu, lebih dari itu Punk sebenarnya belumlah benar-benar mati, ya… Punk Not Dead..!!! Beberapa band tetap memainkan Punk dan secara pelan tapi pasti membangun sebuah pergerakan baru yang kelak memberi warna baru dan angin segar di scene Punk yang saat itu sudah sekarat. Band-band tersebut adalah Sham 69 dari Hersham, The Addict dari Liverpool, Cock Sparrer, Angelic Upstart, Cockney Reject dan Menace dari London , Slaughter and The Dogs dari Manchester dan Skrewdriver dari Blackpool. Jika Punk adalah bentuk paling lugas, kasar, lantang, dan jujur dari musik rock n’ roll maka musik yang dimainkan oleh band-band tersebut adalah bentuk yang paling lugas, kasar, lantang dan jujur dari musik Punk yang ada saat itu, benar-benar Rougher than Rough. tak ada lirik utopis tentang anarkisme dalam musik mereka, lirik band-band ini lebih pada kehidupan nyata yang mereka alami dijalanan, teras sepakbola, dan kehidupan mereka sebagai anak kelas pekerja yang keras…Bagi mereka semua adalah tentang jalanan. Ya, sebuah pemberontakan yang benar-benar langsung dari jalanan, tanpa basa basi dan imitasi seperti SexPistols cs.
Sham 69

        Lalu sebuah namapun di berikan bagi mereka: “Streetpunk”. Coba saja dengar lagu-lagunya Cock Sparrer seperti "Argy Bargy", "Where all they Now", "Working", "Riot Squad", "Running Riot", "The Sun Says" dan segudang lagu-lagu mereka yang dinobatkan sebagai lagu kebangsaan kaum jalanan sepanjang masa, maka siapapun mau tak mau harus setuju bahwa Streetpunk benar-benar berasal dan berakar di jalanan.
          Cock Sparrer sendiri kelak dinobatkan sebagai The God Father of Street Punk, band ini mungkin adalah band jalanan terbaik yang pernah ada. Steve Burgess, Michael Beufoy, Colin McFaul dan Steve Bruce sebenarnya telah membentuk band ini sejak tahun1974 dan telah melakukan tour setahun penuh sebelum para personil Sex Pistols di temukan oleh Malcolm McLaren. Mereka adalah band Punk, bahkan sebelum musik yang mereka mainkan bernama Punk. Ironisnya, ketika Punk mewabah tak ada satupun label besar yang mau mengontrak mereka karena para produser menganggap musik Steve Burgess cs sangat pasaran dan tidak menyuguhkan sesuatu yang baru, sehingga mereka tak pernah merekam lagu-lagunya sampai tahun 1977.
     Namun siapapun yang pernah datang dan melihat pertunjukan live mereka pastilah tahu betapa berkualitasnya band ini, termasuk Malcolm McLaren yang pernah menawarkan diri untuk menjadi manager mereka namun ditolak mentah-mentah oleh Steve Burgess cs karena mereka tahu seperti apa Malcolm, terlebih mereka tak mau berakhir sebagai band imitasi seperti Sex Pistols. 
        Untungnya setelah mereka menjadi band pembuka The Small Faces dan Motorhead, Decca Record tertarik untuk merilis single mereka Running Riot. Band-band seperti Cock Sparrer dan Menace memang terpaksa menghabiskan masa-masa awal karir mereka sebagai band pembuka dan pendukung band-band besar seperti Motorhead. Pada awalnya memang tak ada yang melirik band-band Streetpunk, mungkin kejujuran dan kekasaran mereka terlalu menakutkan bagi dunia Rock mainstream yang munafik.
       Kemunculan Streetpunk juga menjadi pemicu kembalinya para anak kelas pekerja berkepala botak dengan Boots dan Bracesnya ke jalan-jalan di Inggris…Ya, the bad boys called Skinhead is back…!! Namun kemunculan Skinhead kali ini sangat sedikit hubungannya dengan Skinhead orisinil angkatan 69. kebanyakan Skinhead saat itu memulai ke-Skinhead-annya sebagai “Punk botak/ Balds Punk” yang sebenarnya adalah usaha menjauhkan diri mereka sebagai anak kelas pekerja dari anak-anak Punk kelas menengah, sekali lagi terbukti bahwa pada akhirnya hidup ini selalu tentang kelas dan strata sosial.
         Namun saat itu tetap ada Skinhead yang percaya dan menjalankan nilai-nilai tradisional budayanya. Namun bagi sebagian besar Skinhead saat itu tidak ada lagi semangat 69 dan cara berpakaian rapih, necis dan elegan seperti Skinhead orisinil di tahun 69 dulu. Ya, walaupun “lahir kembali” budaya Skinhead secara umum masih terjebak dalam identitas budaya lain. Potongan rambut masih botak seperti Skinhead ditahun 69 dulu, namun kini potongannya samakin pendek bahkan tanpa rambut sama sekali, boots juga masih dipakai dan menjadi identitas utama seperti dulu. Namun kini biasanya seluruh larsnya ditunjukan, dengan cara memotong atau menggulung jeans di atas mata kaki, tapi lebih tinggi, biasanya setengah betis sehingga ujung celana menyentuh ujung boots. Selain itu boots yang popular kini bukan lagi yang 8 holes atau 10 holes, tapi 12, 14 bahkan 22 holes.
           Budaya tattoo yang memang sudah ada sejak era 69 dulu kini menjadi semakin populer, dan kini bukan lagi di tangan seperti dulu, tapi di wajah. Tak sedikit Skinhead yang mempunyai tato “made in england” di jidatnya, hal yang mungkin akan disesali mereka suatu saat. Tato sebenarnya memang sebuah pilihan pribadi bagi seorang Skinhead, bukan sebuah kewajiban, tato yang tepat gambar dan penempatannya mungkin akan terlihat bagus dan smart tapi sebaliknya akan terlihat jelek dan tidak smart jika gambar dan penempatannya salah. Segelintir Skinhead orisinil yang selamat dari masa glam dan disco merasa tak ada hubungannya dengan para Skinhead gelombang baru ini.
           Di tahun1977 ketika sering terjadi perkelahian antara para Teds dan Punks di Kings road, para Skinhead orisinil biasanya membantu para Teds sementara Skinhead generasi baru biasanya membantu para Punks. Para Skinhead orisinil bahkan pertamanya tak tertarik dengan Streetpunk, buat mereka Punk adalah bentuk baru dari rock n’ roll nya para Hippies di tahun 60an dulu, namun setelah mereka menyadari ternyata semangat jalanan Streetpunk sama dengan semangat yang mereka miliki akhirnya mereka mengadopsi Streetpunk sebagai bagian baru dari budaya mereka.
          Seiring semakin diterimanya Punk di dunia mainstream, Skinhead generasi baru semakin menjauhkan dirinya dari Punk dan akhirnya menemukan kembali identitasnya. Kini mereka mengklaim diri mereka sebagai Skinhead seutuhnya. Cara berpakaian orisinil para Skinhead di tahun 69 yang rapih, necis dan sebenarnya tak pernah hilang kini kembali lagi dan menjadi populer di kalangan Skinhead generasi baru ini. Crombies, sta-press, Ben Sherman, dan sepatu brogues kini di pakai lagi, dan dikombinasikan dengan bleach jeans dan Boots 10 atau 12 holes, potongan rambut kini kembali agak di perpanjang dan tak lagi botak plontos seperti sebelumnya, Gaya tahun 1969 dengan aksen tahun1977, bahkan Skinhead Reggae pun kembali populer dan biasanya di putar oleh para DJ diantara gigs band-band Streetpunk.
            Memasuki tahun 1978, Skinhead dan segelintir Punk kelas pekerja yang kecewa dengan keadaan scene Punk saat itu semakin mengidentifikasikan dirinya dengan band-band seperti Cock Sparrer dan Sham 69. Pergerakan Streetpunk bahkan semakin diramaikan oleh sebuah subkultur baru yaitu: Herbert, anak jalanan yang tertarik dengan Streetpunk namun tidak mengklaim identitas dirinya sebagai Skinhead ataupun Punk. Kebanyakan dari mereka adalah preman jalanan. Lengkap sudah identitas Streetpunk! dengan adanya Skinhead, Punks, dan Herberts, Streetpunk benar-benar adalah sebuah musik jalanan bagi anak jalanan.
            Namun sebenarnya tak ada satupun band Streetpunk saat itu yang seluruh atau salah satu personilnya adalah Skinhead, walaupun sering kali mereka manggung dengan memakai Fred Perry, Ben Sherman, Stapress ataupun Boots, hal itu juga berlaku bagi Sham 69. Padahal Jimmy Pursey sang vokalis adalah seorang Skinhead sebelum membentuk Sham 69. Di antara band-band Streetpunk saat itu mungkin hanya Skrewdriver yang lebih memilih memakai dandanan Skinheadnya, terlepas dari kenyataan bahwa Ian Stuart cs dulunya adalah seorang Punk.
          Sham 69 adalah band paling fenomenal di antara band-band Street Punk disaat itu. Jimmy cs adalah band Street Punk pertama yang mendapatkan kontrak dari label dan menarik perhatian pers musik rock Inggris yang sebelumnya tak menghiraukan mereka. Band ini didirikan dan dipimpin oleh seorang yang sangat kharismatik, cerdas, dan mempunyai kemampuan berbicara yang luar biasa…Jimmy Pursey. 
            Di bentuk di Hersham pada tahun 1966, band ini mengambil namanya dari sebuah grafiti Hersham 69 yang kemudian disingkat menjadi Sham 69. Setelah setahun penuh menjadi band pembuka, Jimmy memecat semua anggota asli bandnya, hal yang sangat mudah dilakukan olehnya karena pada dasarnya Jimmy Pursey adalah Sham 69 itu sendiri. Ia kemudian merekrut Dave Parson (gitar), Mark Cain (drums), dan Dave Tregana (bass). Dengan personil yang hampir seluruhnya baru, band ini merilis debut singlenya “I dont wanna” di bawah label Small Wonder. Mungkin akan sangatlah sulit bagi siapapun yang membaca buku ini menemukan band yang setara reputasinya dengan Sham 69, layaknya hampir tidak mungkin menemukan orang sperti Jimmy Pursey di dalam sejarah musik Street Punk (dan Oi! Di kemudian hari).                 
           Sham 69 adalah band pertama yang membuat para Skinhead menemukan lagi harga diri, kebanggaan dan semangat jalanan yang sempat hilang beberapa waktu sebelumnya. Musik Sham 69 mungkin tak ada istimewanya jika di banding band-band Glam rock seperti Slade ataupun Mott and The Hopple, namun ketika berbicara tentang lirik…tentu adalah hal yang sangat berbeda. Coba saja dengarkan lirik lagu mereka seperti "Borstal Breakout", "Angels with Dirty Faces", atau "If the Kids are United", Semua kata-katanya tajam seperti pisau belati yang menghunjam ke dada siapapun yang mendengarkannya. Di bungkus dengan musik yang membakar semangat dan chorus ala yel yel di lapangan sepakbola membuat para Skinhead mengikuti Jimmy cs layaknya ngengat mendekati api. 
             Datang ke gigs Sham 69 seperti datang ke pertemuan keluarga, menjadi bagian dari Sham69 itu sendiri dalam pengertian apapun. Tak sedikitpun Jimmy cs menunjukkan sikap “kami adalah rockstar dan kalian adalah anak-anak yang memuja kami, sehingga kami lebih superior dari kalian”. 
        Untuk pertama kalinya dalam sejarah musik rock orang-orang yang datang ke gig adalah sama derajatnya dengan band yang bermain di atas panggung. Dan untuk pertama kalinya juga ada sebuah band Street Punk yang mempunyai pengikut Skinhead fanatis yang rela berkelahi melawan siapapun membela Jimmy cs. Dengan bangganya mereka menyatakan bahwa mereka adalah bagian tak terpisahkan dari Sham 69 dengan memakai patches angka 69 di dada dan jaket jeans atau Harringtonnya, dan jika angka tersebut belum cukup mereka akan menambahkan tulisan Sham Army di punggungnya. Benar-benar sebuah fanatisme yang membuat siapapun berdecak kagum pada Jimmy cs.
            Sing along adalah hal yang terlalu biasa terjadi di gig Sham 69, tak jarang suara Jimmy hilang di telan suara koor penontannya, bahkan lebih dari itu gig biasanya berakhir dengan stage invasion (penonton beramai ramai naik ke panggung untuk bernyanyi bersama band). Jimmy adalah orang yang sangat rendah hati dan ramah ketika berhadapan dengan fansnya, tak jarang pintu dressing room di buka sehingga siapapun bisa masuk dan berbincang bincang dengan Jimmy cs dan hal itu tetap di lakukannya bahkan ketika gig sudah berakhir 2 jam yang lalu. 
            Jimmy memang sangat flamboyan dalam hal berdialog dan membangun hubungan emosional dengan fansnya terutama para Skinhead, mungkin karena dia pernah menjadi seorang Skinhead. Dia benar-benar percaya ia dan Sham 69 bisa merubah mereka, para fans Skinheadnya yang saat itu mulai disusupi kekuatan politik sayap kanan. Semua itu di lakukannya hanya dengan membuka mulutnya dan keluarlah kata-kata secepat dan selugas senapan mesin. Ia bahkan tak pernah lulus SMA, namun siapapun yang pernah berbicara dengannya tahu bahwa senjata dan aset paling berharga Jimmy adalah mulutnya, namun pada saat bersamaan mulutnya itu jugalah masalah terbesarnya karena siapapun akan percaya pada apapun yang di katakan Jimmy bahkan ketika ia sengaja mengatakan omong kosong sekalipun. 
           Ia mampu menyihir lawan bicaranya dengan argument-argument yang sangat masuk akal, kemampuan yang bahkan tak di miliki semua politikus di dunia ini. Saat ia berbicara hampir tak ada yang bisa menghentikannya, benar-benar orang yang cerdas dan berwibawa. Sayang, hal ini menjadi bumerang bagi dirinya sendiri ketika ia berbicara tentang hal-hal seperti keberpihakan politik Sham 69 dan para pengikutnya. Jimmy mengatakan dengan tegas dan memberikan argumentasi-argumentasi yang meyakinkan bahwa tak pernah terjadi kekerasan di gig band-band street punk seperti Cock Sparrer, Menace dan tentunya Sham 69, selain itu juga tak ada satu orangpun Skinhead fasis pendukung National Front ataupun British Movement yang datang ke gigsnya. Media dan publik percaya pada apa yang di katakan Jimmy, namun siapapun yang datang ke gigs Sham 69 saat itu tahu pasti bahwa Jimmy berbohong.
             Kembalinya Skinhead yang menjadi pendukung utama band-band Street Punk saat itu memang cukup menjadi perhatian media terutama yang hanya mencari sensasi demi menggenjot oplah koran dan tabloid mereka. Siapapun yang pernah hidup di akhir dekade 60-an tentu tak lupa dengan kejadian sensasional seperti Bank Holiday di Hasting atau Brighton, yang membuat Skinhead dikenal reputasi kekerasannya. Anjing-anjing media itu mulai mengintai para Skinhead, memperhatikan setiap gerak geriknya, bahkan datang ke gig band-band Streetpunk yang pasti penuh sesak oleh para Skinhead, Punk, dan Herbert. Mereka tahu cepat atau lambat akan terjadi hal-hal yang sensasional, hal yang akan membuat foto seorang atau segerombolan Skinhead sedang berkelahi atau di tangkap oleh polisi menghiasi halaman pertama koran-koran seperti The Suns ataupun Sunday Mirror.
          Salah satu bukti lagi bahwa media tak pernah dan tak akan pernah bersahabat dengan budaya Skinhead. Lalu akhirnya hal yang di tunggu-tunggu itupun terjadi…gig Sham 69 berakhir dengan keributan besar di Redding Festival pada bulan Agustus 1978 antara sesama fans Sham 69 yang membuktikan bahwa apa yang pernah di katakan Jimmy adalah omong kosong. Yang di jadikan kambing hitam tentu saja para Skinhead, padahal kerusuhan terjadi tak hanya pada gig Sham 69, tapi band-band yang hampir tidak mempunyai fans Skinhead seperti UK Subs dan The Poison Girlspun mengalami hal yang sama. Jimmy Pursey berusaha sekuat tenaga untuk menghentikan perkelahian yang terjadi, namun keadaan benar-benar sudah diluar kendali. Stage invasion kini sudah terlalu berlebihan, tak jarang setengah dari penonton naik ke panggung sehingga sering kali gig harus berhenti karena Jimmy cs tak mendapat tempat yang cukup untuk bermain. Selain itu gig Sham 69 kini telah berubah menjadi arena pertumpahan darah demi membela nama kota, klub sepakbola yang kau dukung, apa identitas budaya yang kau anut atau bahkan yang paling konyol namun rumit…keberpihakan Politik.
         Cock Sparrer dan Menace pun ternyata mengalami hal yang sama, namun layaknya Jimmy, mereka tidak percaya kalau Skinhead adalah biang keributan di gig mereka seperti yang di katakan media. Mereka tahu dan paham betul tabiat kekerasan para Skinhead, tapi mereka tak percaya kalau Skinhead menghancurkan gig band yang sudah mereka beli karcis masuknya. Memang sering kali Skinhead memancing keributan dan melakukan Punk bashing layaknya Mod bashing di tahun 60-an dulu, namun skalanya sangat kecil dan bisa di bilang tidaklah lengkap sebuah gig tanpa terjadinya hal itu.
         Keberpihakan politik adalah hal lain yang menjadi penyebab kerusuhan di gig Sham 69. Kebanyakan Skinhead yang menjadi fans Sham 69 saat itu adalah pendukung NF dan BM, dua organisasi sayap kanan yang menjadikan Skinhead sebagai target utama perekrutan mereka. Semua orang tahu kalau Sham 69 tak tertarik dengan politik dan segala tetek bengek yang melingkupinya, dan jelas sekali kalau Jimmy tak pernah sekalipun mengeluarkan pernyataan yang mendukung NF atau BM. Namun Jimmy cs juga tak mau memalingkan muka dari para Sham Army yang telah mendukung mereka dengan setia apalagi melarang mereka datang ke gig Sham 69. Jimmy lebih tertarik untuk beradu argumen dengan para pendukung NF dan BM yang datang ke gigsnya, namun hal itu adalah hal paling sia-sia yang pernah dilakukan olehnya. 
           Keadaan diperkeruh oleh tekanan dari Media dan organisasi sayap kiri seperti Anti Nazi League yang menginginkan Sham 69 dan band-band Street Punk lainnya bermain di gig Rock Against Racism yang mereka koordinir sebagai pembuktian pada publik bahwa mereka bukanlah pendukung NF ataupun BM. Tujuan ANL memang tampak bagus di permukaan, namun di baliknya tidak sama sekali. Band-band Streetpunk yang menolak untuk bermain di RAR akan di boikot habis-habisan oleh ANL dan jaringan sayap kiri yang menguasai media musik rock, radio dan perusahaan rekaman.
          Ini membuat kita bertanya-tanya siapa sebenarnya yang fasis. Sham 69 yang pertamanya menolak ajakan ANL akhirnya bersedia main di RAR, bukan karena takut tapi ia berusaha menghentikan masalah dan tekanan dari publik dan media. Sham 69 bermain di beberapa gig RAR, bahkan Jimmy sendiri tampil bersama The Clash di ANL carnival di Hackney. Jimmy sadar bahwa ia dan Sham 69 tak dapat merubah dunia, karena ia bukanlah politikus atau seorang pemimpin, tapi ia precaya kalau ia bisa merubah para fansnya, setidaknya sebagian dari mereka. 
            Keputusan Sham untuk bermain di gig RAR ternyata adalah sebuah keputusan yang salah karena Sham tak hanya di peralat oleh organisasi kiri itu untuk mencapai tujuan mereka, namun juga karena tanpa mereka sadari mereka kini telah di cap sebagai komunis. Padahal jelas-jelas Sham tak pernah peduli dengan keberpihakan politik. Akibat dari di capnya sebagai band komunis adalah semakin menggilanya aktifitas sayap kanan di gig mereka, terutama jika mereka manggung di seputaran London yang mempunyai pendukung NF dan BM paling banyak, hal ini tentu saja mendapat respon yang keras dari para skinhead Anti Fasis. 
                Yang paling menyedihkan pelaku utama dari semua aktifitas sayap kanan di gig Sham adalah para Skinhead yang di peralat oleh partai politik untuk melakukan pertarungan politik yang seharusnya terjadi di pemilihan umum, bukan di sebuah gig. Oleh para fansnya yang merupakan pendukung NF atau BM Sham kini di anggap telah berkhianat pada mereka, dan Jimmy adalah orang yang mereka persalahkan. Semakin meningkatnya aktifitas sayap kanan di gig Sham membuat hampir seluruh gig mereka berakhir dengan kerusuhan, bahkan bisa di bilang tak ada tempat di Inggris yang aman buat gig mereka karena di mana ada Sham 69 di situ ada perkelahian antara Skinhead sayap kanan dan Anti Fasis. Akibatnya tak ada promotor di Inggris yang kini berani membuatkan gig untuk Jimmy cs. Satu-satunya tempat aman bagi mereka untuk manggung adalah di luar Inggris dan Jimmy tak mau melakukannya. Hal itu berarti tak ada gig untuk Sham, dan apalah artinya sebuah band tanpa gig? Jadi akhirnya Jimmy cs memutuskan untuk membubarkan band mereka. 
                 Mereka lalu menkoordinir gig selamat tinggalnya Sham 69, gig ini di adakan di Glasgow, London dan Finland. Gig yang diadakan di Glasgow dan Finland berakhir dengan baik-baik saja, namun gig di London yang di adakan di Rainbow Theatre berakhir dengan kerusuhan besar. Kerusuhan di mulai dengan stage invasion yang membuat panggung di penuhi oleh tak kurang dari 200 orang Skinhead. Entah siapa yang memulai tiba-tiba saja Rainbow Theatre gegap gempita oleh teriakan Sieg Heil yang di ikuti dengan salam khas Nazi. Perkelahianpun segera terjadi, dan emosi Jimmy yang telah sekian lama di tahannya akhirnya meledak, ia mengamuk sejadi-jadinya dan berteriak di microphone: “Aku mencintai kalian, aku melakukan semua hal untuk kalian, tapi yang kalian lakukan hanyalah berkelahi..!!!”
            Namun perkelahian tak berhenti sampai akhirnya Jimmy di tusuk punggungnya oleh seorang Skinhead yang masih dengan bangganya memakai badge Sham army di jaketnya. Akhir yang cukup tragis bagi band seperti Sham 69.
                   Kebencian NF dan BM kepada Sham 69 ternyata tidak berhenti sampai di situ, bahkan setelah Sham bubar pun mereka masih tetap menunjukkannya dengan menyebarkan isu bahwa Jimmy kini sudah menjadi seorang kelas menengah yang kaya raya, dan Sham 69 telah sell out seperti band-band Punk 77 yang di kecamnya. Rumor mengatakan bahwa Jimmy membeli rumah elit lengkap dengan kolam renang di dalamnya seharga 130 ribu poundsterling. Tentu saja hal ini adalah bohong adanya. Namun jika benar sekalipun apa salahnya? Jika Jimmy dan Sham 69 menjadi kaya karena penjualan album dan gig mereka, jelas saja mereka pantas mendapatkannya karena mereka telah bekerja keras untuk itu. 
              Pada kenyataannya kesuksesan tidak membuat Jimmy lupa pada asalnya, sebagian uang yang di dapatnya ia pergunakan untuk membantu kemajuan band-band Streetpunk lain untuk memulai karirnya. Di antara sekian banyak band yang ia bantu di antaranya adalah Angelic Upstart dan Cockney Reject, dua band Streetpunk yang kemudian tak kalah legendarisnya di dunia Skinhead dengan Sham69. 
           Angelic Upstart dibentuk pada musim panas tahun 1977, namun kehilangan hampir seluruh personilnya pada gig pertama mereka, namun sang vokalis Mensi Merauders berhasil membentuk kembali Angelic Upstart. Debut single mereka "Murder of Liddle Towers" dirilis oleh Dead Records dan kemudian di rilis ulang oleh Small Wonder. Band ini telah menunjukkan ke-antian mereka terhadap polisi dan pandangan politik mereka sebagai band penganut sosialisme.


Angelic Upstart
                 "Murder of Liddle Towers" yang menceritakan tentang terbunuhnya seorang pelatih tinju oleh polisi tanpa proses peradilan menjadi anthem perlawanan kaum jalanan terhadap tindakan sewenang-wenang polisi. Angelic Upstart lalu menjadi sangat diwaspadai oleh polisi yang selalu muncul di gig mereka mengawasi setiap tindakan Mensi cs. Hal ini membuat mereka di boikot di beberapa tempat. Jimmy Pursey kemudian menawarkan Mensi cs untuk di rilis di bawah label yang sedang di bangunnya yang bernama Wedge yang bekerja sama dengan Polydor. Angelic Upstart menerima ajakan Jimmy, namun kerja sama mereka tak berhasil dengan baik, dan akhirnya Mensi menanda tangani kontrak dengan Warner_Bros.
                Layaknya Sham 69, Angelic Upstartpun terjebak dalam perseteruan politik sayap kanan dan sayap kiri, hal tersebut karena kedekatan mereka dengan budaya Skinhead yang mulai terpecah dua oleh pandangan politik. Walaupun Angelic Upstart adalah band Punk, namun image band ini sangatlah Skinhead sekali, tak heran jika mereka selalu diasosiasikan dengan Skinhead, dan diasosiasikan dengan Skinhead di saat itu sama artinya dengan di cap sebagai band pendukung organisasi sayap kanan. Di tambah dengan lagu-lagu mereka seperti "Spandau" dan "England" membuat mereka semakin di cap sebagai band fasis. Jelas hal itu salah besar dan di bantah habis-habisan oleh Mensi cs. Ia mengatakan mereka adalah sosialis jalanan yang cinta pada negerinya. 
                  Seperti halnya Sham 69, Mensi cs jelas sangat menentang organisasi fasis seperti NF dan BM, namun mereka tak bisa melarang para Skinhead pendukung sayap kanan datang ke gig mereka. Pertamanya mereka mencoba untuk melakukan pendekatan moral dan mengajak para Skinhead sayap kanan itu berdialog, namun ternyata itu tidaklah cukup. Pihak sayap kanan mendesak agar Angelic Upstart memilih dan menyatakan keberpihakan politiknya, dan Mensi cs pun terpaksa memilih untuk bermain di gig RAR daripada di cap sebagai band fasis, satu lagi band Streetpunk menderita karena perseteruan politik.
              Lalu nasib Angelic Upstartpun seakan sama dengan Sham 69, band ini di tekan oleh pihak-pihak yang hanya ingin memanfaatkan Mensi cs demi tujuan-tujuan politisnya. Kerusuhan terjadi di hampir semua gig mereka dan tak jarang terjadi penyerangan terhadap mereka oleh pendukung sayap kanan, Skinhead ataupun bukan, hal ini jelas membuat mereka frustasi. Angelic Upstart di cap sebagai band komunis, saat itu memang ada sebuah peraturan tak tertulis yaitu jika kau bukanlah Nazi, maka kau pastilah seorang Komunis. Benar-benar tidak masuk akal karena sebenarnya tak semua orang peduli dengan pandangan politik kanan ataupun kiri. Pengalaman buruk berupa tekanan-tekanan dari organisasi sayap kanan ini membuat mereka kemudian sangat gencar melakukan kampanye dan aksi-aksi perlawanan terhadap fasisme dan menyuarakan pandangan-pandangan sosialisme mereka sebagai balasan terhadap NF dan BM. Sedikit demi sedikit Angelic Upstart benar-benar menjadi Band sayap kiri.
                Band berikutnya yang dibantu oleh Jimmy Pursey adalah Cockney Reject yang di gawangi oleh dua orang kakak beradik yaitu Micky Geggus dan Geof Geggus yang lebih di kenal dengan nama Stinky Turner. Geggus bersaudara ini merupakan petinju amatir yang di satukan dengan dua orang lainnya sebagai sebuah band oleh Vince Riordan mantan roadie Sham 69. Kerja sama mereka dengan Jimmy Pursey dimulai dengan pertemuan Geggus bersaudara dengan seorang wartawan majalah musik Sounds bernama Garry Bushell di sebuah pub. Micky kemudian memberikan demo tape mereka, Garry yang tertarik dengan musik mereka lalu memberikan demo itu pada Jimmy dan mengenalkan para opersonil Cockney Reject padanya. Jimmy lalu setuju untuk memproduseri debut single mereka yang berjudul "Flares and Slippres" yang di rilis di bawah label Small Wonders. Hidup mereka yang keras sebagai anak kelas pekerja yang hidup di kawasan Ghetto East End di utara London di tambah dengan latar belakang mereka sebagai petinju sedikit banyak mempengaruhi tingkah laku dan musik mereka. Mereka menyebut musik mereka dengan sebutan Ruck N’ Roll (we Ruck and you Roll), musik mereka yang lebih kasar namun melodius dengan lirik-lirik berbau "Tough Guy" sangat menarik perhatian ex-fansnya Sham 69 dan Menace, baik Punk maupun Skinhead. Namun tingkah laku jagoan mereka membuat banyak Skinhead yang membenci mereka, tapi tak sedikit pula yang menjadi pengikut setia Stinky Turner cs, terutama yang menghabiskan waktunya untuk duduk di teras sepakbola mendukung West Ham United.
               Layaknya gig band-band Streetpunk lainnya kadang di gig Cockney Reject terjadi perkelahian, namun Stinky Turner cs dan para pengikut fanatiknya selalu berhasil menghentikannya, ini membuat mereka sangat di hormati di antara band-band Streetpunk saat itu. Media pernah mencoba mengasosiasikan Cockney Reject dan keributan yang terjadi di gig mereka dengan BM, namun tidak berhasil karena keributan di gig mereka punya penyebab tersendiri yaitu hooliganisme sepakbola. 
             Keempat personil Cockney Reject adalah hooligan West Ham dan selalu memastikan semua orang tahu klub sepakbola apa yang mereka dukung. Di setiap penampilan mereka, panggung selalu di latar belakangi oleh bendera Union Jack dan Bendera West Ham, mereka bahkan merilis cover version dari lagu kebangsaan para Hammers (sebutan bagi pendukung fanatik West Ham) yang berjudul "I’m Forever Blowing Bubbles" sebagai perayaan mereka atas masuknya West Ham ke final Piala FA. I’m Forever Blowing Bubbles kemudian di susul dengan anthem-anthem sepakbola mereka berikutnya seperti "We are The Firm" dan "War On The Terraces", yang dengan sangat berani mereka rilis di saat keributan di gig karena hooliganisme sepak bola sudah keterlaluan.


        Kebanggan mereka terhadap tim sepakbola kesayangan mereka West Ham inilah yang kemudian menjadi bumerang bagi diri mereka sendiri. Kira-kira sebulan setelah di rilisnya "I’m Forever Blowing Bubbles" terjadi keributan besar antara Cockney Reject dan pengikut fanatiknya yang tentu saja Hooligan West Ham seperti mereka dengan 200an Skinhead pendukung Millwall tim sepakbola yang gank hooligan (firm) nya merupakan musuh bebuyutan Westham Bootboys di Cedar Club. 
          Keributan berakhir dengan Micky dilarikan ke Rumah Sakit dan mendapatkan Sembilan jahitan di kepalanya, mobil van mereka di rusak. Bukan itu saja, Micky kemudian di hukum masa percobaan selama enam bulan dan didenda 500 pound. 
            Setelah kejadian itu mereka berusaha menghilangkan image kekerasan pada band mereka, namun tidak berhasil, tour mereka di musim gugur 1980 mengalami keributan yang serius di gig-gig awalnya. Asosiasi mereka dengan West Ham membuat mereka mustahil melakukan gig di luar East End London tanpa mengalami penyerangan dari musuh-musuh mereka, dan tak satupun pihak yang dapat mereka salahkan selain diri mereka sendiri.      
            Mungkin ini salah satu penyebab mereka kemudian beralih menjadi band Heavy Metal. Namun apapun yang terjadi pada mereka, band-band Streetpunk seperti Cockney Reject, Sham 69, Cock Sparrer, dan Angelic Upstart, mereka telah menyalakan semangat baru di dunia Skinhead, mereka memberi para Skinhead identitas lama mereka yang sempat memudar.. Yaitu semagat jalanan. Walaupun selalu dijadikan kambing hitam media, terjebak dalam perseteruan politik kanan-kiri, dan segudang masalah lainnya, Streetpunk tak akan pernah mati selama masih ada anak-anak muda kelas pekerja yang ingin menyuarakan realita kehidupan jalanan mereka yang keras. 
        Streetpunk telah membidani lahir kembalinya budaya Skinhead dengan segala aspek pemberontakannya, dan kini adalah waktunya bagi mereka meneruskan pergerakan musik ini dengan sesuatu yang lebih mengancam dan itu adalah musik Oi!.. Musik jalanan yang menyuarakan suara jalanan dan dimainkan oleh kaum jalanan dengan Boot dan Bracesnya yang dalam perjalanannya sempat menggetarkan Inggris dan kini mendunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar