Memasuki pertengahan dekade 70-an Skinhead hampir sama
sekali hilang di daratan Inggris. Kini masa telah berganti, tak ada lagi
anak-anak muda berandalan yang menguasai jalan-jalan di seantero Inggris Raya,
sebagian dari mereka berubah seiring betambahnya usia mereka, sebagian
melanjutkan hidup menjadi orang biasa, bekerja, menikah dan punya anak,
sebagian lagi tergilas zaman dan tertelan perkembangan subkultur lain.
Tak ada lagi juga kerusuhan di teras sepakbola secara
massive seperti di era 60-an dulu, tak ada lagi juga “ritual tahunan” pembantaian
para Hippies, Rockers, dan Teds di tepi-tepi pantai seperti Hasting dan
Brighton serta Bank Holiday. Bahkan musik reggae pun kini semakin menjauhkan
diri dari Skinhead seiring dangan pergerakan paham Rastafarianisme di Jamaika.
Reggae kini telah berubah menjadi musik yang hampir-hampir murni kulit hitam
yang membahas tentang zion ,
etiophia, dan semua hal berbau afrika sehingga menghilangkan mata rantai
hubungannya dengan anak-anak kelas pekerja Inggris yang rata-rata berkulit
hitam, sehingga lagu-lagu kebangsaan para Skinhead seperti "Skinhead Moonstomp" pun kini tinggal kenangan.
Namun sebenarnya Skinhead tidaklah benar-benar
menghilang, karena tetap ada Skinhead yang memegang teguh semangat 69 di
hatinya. Namun jumlah mereka sangatlah sedikit, bahkan di kota-kota besar
seperti London dan Glasgow mencari Skinhead hampir sama dengan
mencari jarum di tumpukan jerami. Ya… Skinhead benar-benar hampir habis
tergilas_zaman.
Lalu di tahun 1976
tiba-tiba sebuah pergerakan musik dan subkultur baru pun lahir di Inggris..Punk
was Born and ready to kick everything down..!!! Punk
sendiri sebenarnya lahir di Amerika melalui tangan band-band seperti The New
York Dolls dan Ramones, namun Punk dalam pengertian subkultur lahir di Inggris.
Punk adalah sebuah bentuk Rock N’ Roll paling jujur, memberontak, berani,
kasar, lugas dan lantang. Musik seperti itulah yang ditunggu-tunggu oleh
anak-anak muda Inggris yang frustasi dengan kehidupan yang monoton dan telah
bosan dengan sampah imitasi seperti Deep Purple, Black Sabbath, Led Zepelin dan
si Dewa gitar Eric Clapton.
Micky
Fitz vokalis dari The Business dikemudian hari mengatakan bahwa Punk adalah hal
terhebat yang pernah terjadi dalam sejarah musik Rock di daratan Inggris.
Cepat, keras, lantang, dan jujur… Itulah semangat Punk yang diusung band-band
punk seperti The Stranglers, The Clash dan yang paling kontroversial…Sex
Pistols. Roxy, Vortex, 100 clubs, Hope and Anchor adalah nama-nama Club yang
biasa menggelar gigs Punk. Punk tiba-tiba menjadi sangat massive, mendobrak
kebuntuan dan memberi alternative bagi dunia musik rock di akhir 70-an yang
membosankan. Dan ketika Anarchy in The UK merajai tangga lagu di Inggris,
pergerakan inipun mulai diperhitungkan oleh dunia mainstream.
Namun di balik semua pemberontakan, kekasaran, kejujuran, dan segudang reputasi
berbau mitos lainnya, Punk di era 77 bukanlah sebuah pemberontakan yang
bersifat spontan dan datang dari jalanan seperti yang tampak di permukaan. Punk
saat itu lebih seperti fashion yang dipakai untuk bergaya di jalan-jalan
seperti Kings Road yang dilakukan setiap akhir pekan oleh penganut trend
sesaat, dan para mahasiswa sekolah seni, bahkan ada yang lebih buruk lagi…Punk
sangatlah bersifat kelas menengah.
Belilah sebuah jaket kulit dan lengkapi dengan patches logo Anarchy yang di jahitkan oleh ibumu di belakangnya maka kau sudah menjadi pemberontak…Benar-benar sebuah lelucon!! Punk saat itu ternyata adalah The greatest Rock N’ Roll Swindle… Ya, penipuan terbesar dalam musik Rock n’ Roll.
Belilah sebuah jaket kulit dan lengkapi dengan patches logo Anarchy yang di jahitkan oleh ibumu di belakangnya maka kau sudah menjadi pemberontak…Benar-benar sebuah lelucon!! Punk saat itu ternyata adalah The greatest Rock N’ Roll Swindle… Ya, penipuan terbesar dalam musik Rock n’ Roll.
Sex Pistols pahlawan Punk dan band yang sampai saat ini di sebut-sebut sebagai salah satu band
paling pemberontak di muka bumi ternyata tak lebih dari sebuah band imitasi
bentukan Malcolm McLaren, seorang pengusaha kelas menengah dan pemilik butik
mahal di Kings Road
bernama Sex. Jhonny Rotten sang vokalis band ini tak lebih dari sekedar badut
yang melakukan hal-hal tolol di depan umum demi mengangkat pamor bandnya., atau
si Bodoh pecandu kokain Sid Vicious yang dengan bangganya memakai kaos
bergambar swastika tanpa tahu apa arti lambang itu sebenarnya.
Lalu ada The Clash band yang di
sebut-sebut sebagai band paling intelek diantara band-band punk era 77 ternyata
tak kalah buruknya, walaupun tentunya agak sedikit lebih baik dari pada
rekannya Sex Pistols. Joe strummer sang vokalis yang penganut paham komunisme
ala Trotzky ternyata adalah anak seorang pejabat penting di kementrian luar
negeri Inggris. Joe menghabiskan masa kecil dan remajanya tinggal di sebuah
kawasan elit di London lalu kuliah di sebuah universitas mahal dan ternama ketika
ia beranjak dewasa, benar-benar sebuah kontradiksi dengan lagunya White riot
yang menceritakan tentang kerusuhan di daerah pemukiman kumuh kulit hitam yang
jelas-jelas tak pernah di alaminya.
Dengan latar belakang para tokoh utamanya
seperti yang dijelaskan di atas tak heran jika Punk sedikit demi sedikit
berakhir menjadi bagian dari dunia musik rock mainstream, benar-benar sebuah
ironi… Sebuah pergerakan budaya yang melabeli dirinya sebagai kaum yang anti
kemapanan ternyata kaum yang jelas-jelas mapan dalam pengertian apapun.
Memasuki tahun 1978 punk semakin memantapkan dirinya
menjadi bagian dari dunia rock mainstream. Band-band seperti Sex Pistols, The
Clash, The Stranglers, Siouxsie and The Banshees, dan lain-lain berubah dari band
garage yang bermain di klub-klub kecil menjadi band rock star. Lalu sebuah
slogan pun tersebar luas dikalangan Punk saat itu: PUNK IS DEAD.
Menjadi Punk saat itu lebih kepada menjadi groupies band-band seperti The Clash
daripada benar-benar melakukan pemberontakan kepada masyarakat apalagi
pemerintah yang berkuasa. Hal yang lebih buruk adalah entah siapa yang memulai
nama Punk kini telah berganti menjadi New Wave. Sniffin Glue sebuah fanzine
terkemuka di scene Punk saat itu mencetak isu terakhirnya dan Jhonny Rotten
mengumumkan pembubaran Sex Pistols pada sebuah gigs di San Fransisco…, membuat Punk semakin terseok seok memasuki akhir dekade_70-an.
Namun Punk sebenarnya
tidaklah seburuk itu, lebih dari itu Punk sebenarnya belumlah benar-benar mati,
ya… Punk Not Dead..!!! Beberapa band tetap memainkan Punk dan secara pelan tapi
pasti membangun sebuah pergerakan baru yang kelak memberi warna baru dan angin
segar di scene Punk yang saat itu sudah sekarat. Band-band tersebut adalah Sham
69 dari Hersham, The Addict dari Liverpool, Cock Sparrer, Angelic Upstart, Cockney Reject dan Menace dari
London , Slaughter and The Dogs dari Manchester dan Skrewdriver dari Blackpool.
Jika Punk adalah bentuk paling lugas, kasar, lantang, dan jujur dari musik rock
n’ roll maka musik yang dimainkan oleh band-band tersebut adalah bentuk yang
paling lugas, kasar, lantang dan jujur dari musik Punk yang ada saat itu,
benar-benar Rougher than Rough. tak ada lirik utopis tentang anarkisme dalam
musik mereka, lirik band-band ini lebih pada kehidupan nyata yang mereka alami
dijalanan, teras sepakbola, dan kehidupan mereka sebagai anak kelas pekerja
yang keras…Bagi mereka semua adalah tentang jalanan. Ya, sebuah pemberontakan
yang benar-benar langsung dari jalanan, tanpa basa basi dan imitasi seperti
SexPistols cs.
Sham 69 |
Lalu sebuah namapun di berikan bagi mereka: “Streetpunk”. Coba saja dengar lagu-lagunya Cock Sparrer seperti "Argy Bargy", "Where all
they Now", "Working", "Riot Squad", "Running Riot", "The Sun Says" dan segudang
lagu-lagu mereka yang dinobatkan sebagai lagu kebangsaan kaum jalanan sepanjang
masa, maka siapapun mau tak mau harus setuju bahwa Streetpunk benar-benar
berasal dan berakar di jalanan.
Cock Sparrer sendiri kelak dinobatkan sebagai
The God Father of Street Punk, band ini mungkin adalah band jalanan terbaik yang
pernah ada. Steve Burgess, Michael Beufoy, Colin McFaul dan Steve Bruce
sebenarnya telah membentuk band ini sejak tahun1974 dan telah melakukan tour
setahun penuh sebelum para personil Sex Pistols di temukan oleh Malcolm
McLaren. Mereka adalah band Punk, bahkan sebelum musik yang mereka mainkan
bernama Punk. Ironisnya, ketika Punk mewabah tak ada satupun label besar yang
mau mengontrak mereka karena para produser menganggap musik Steve Burgess cs
sangat pasaran dan tidak menyuguhkan sesuatu yang baru, sehingga mereka tak
pernah merekam lagu-lagunya sampai tahun 1977.
Namun siapapun yang pernah datang dan melihat
pertunjukan live mereka pastilah tahu betapa berkualitasnya band ini, termasuk
Malcolm McLaren yang pernah menawarkan diri untuk menjadi manager mereka namun
ditolak mentah-mentah oleh Steve Burgess cs karena mereka tahu seperti apa
Malcolm, terlebih mereka tak mau berakhir sebagai band imitasi seperti Sex Pistols.
Untungnya setelah mereka menjadi band pembuka The
Small Faces dan Motorhead, Decca Record tertarik untuk merilis single mereka
Running Riot. Band-band seperti Cock Sparrer dan Menace memang terpaksa
menghabiskan masa-masa awal karir mereka sebagai band pembuka dan pendukung
band-band besar seperti Motorhead. Pada awalnya memang tak ada yang melirik
band-band Streetpunk, mungkin kejujuran dan kekasaran mereka terlalu menakutkan
bagi dunia Rock mainstream yang munafik.
Kemunculan Streetpunk juga
menjadi pemicu kembalinya para anak kelas pekerja berkepala botak dengan Boots
dan Bracesnya ke jalan-jalan di Inggris…Ya, the bad boys called Skinhead is
back…!! Namun kemunculan Skinhead kali ini sangat sedikit hubungannya dengan Skinhead orisinil angkatan 69. kebanyakan Skinhead saat itu memulai ke-Skinhead-annya
sebagai “Punk botak/ Balds Punk” yang sebenarnya adalah usaha menjauhkan diri
mereka sebagai anak kelas pekerja dari anak-anak Punk kelas menengah, sekali
lagi terbukti bahwa pada akhirnya hidup ini selalu tentang kelas dan strata
sosial.
Namun saat itu tetap ada Skinhead yang percaya dan
menjalankan nilai-nilai tradisional budayanya. Namun bagi sebagian besar Skinhead saat itu tidak ada lagi semangat 69 dan cara berpakaian rapih, necis
dan elegan seperti Skinhead orisinil di tahun 69 dulu. Ya, walaupun “lahir
kembali” budaya Skinhead secara umum masih terjebak dalam identitas budaya
lain. Potongan rambut masih botak seperti Skinhead ditahun 69 dulu, namun kini
potongannya samakin pendek bahkan tanpa rambut sama sekali, boots juga masih dipakai
dan menjadi identitas utama seperti dulu. Namun kini biasanya seluruh larsnya
ditunjukan, dengan cara memotong atau menggulung jeans di atas mata kaki, tapi
lebih tinggi, biasanya setengah betis sehingga ujung celana menyentuh ujung
boots. Selain itu boots yang popular kini bukan lagi yang 8 holes atau 10
holes, tapi 12, 14 bahkan 22 holes.
Budaya tattoo yang memang sudah ada sejak era 69 dulu
kini menjadi semakin populer, dan kini bukan lagi di tangan seperti dulu, tapi
di wajah. Tak sedikit Skinhead yang mempunyai tato “made in england ” di
jidatnya, hal yang mungkin akan disesali mereka suatu saat. Tato sebenarnya
memang sebuah pilihan pribadi bagi seorang Skinhead, bukan sebuah kewajiban,
tato yang tepat gambar dan penempatannya mungkin akan terlihat bagus dan smart
tapi sebaliknya akan terlihat jelek dan tidak smart jika gambar dan
penempatannya salah. Segelintir Skinhead orisinil yang selamat dari masa glam
dan disco merasa tak ada hubungannya dengan para Skinhead gelombang baru ini.
Di tahun1977 ketika sering terjadi perkelahian antara
para Teds dan Punks di Kings road, para Skinhead orisinil biasanya membantu
para Teds sementara Skinhead generasi baru biasanya membantu para Punks. Para Skinhead orisinil bahkan pertamanya tak tertarik dengan Streetpunk, buat mereka Punk adalah bentuk baru dari rock n’ roll nya para Hippies di tahun 60an dulu,
namun setelah mereka menyadari ternyata semangat jalanan Streetpunk sama dengan
semangat yang mereka miliki akhirnya mereka mengadopsi Streetpunk sebagai
bagian baru dari budaya mereka.
Seiring semakin diterimanya
Punk di dunia mainstream, Skinhead generasi baru semakin menjauhkan dirinya
dari Punk dan akhirnya menemukan kembali identitasnya. Kini mereka mengklaim
diri mereka sebagai Skinhead seutuhnya. Cara berpakaian orisinil para Skinhead
di tahun 69 yang rapih, necis dan sebenarnya tak pernah hilang kini kembali
lagi dan menjadi populer di kalangan Skinhead generasi baru ini. Crombies,
sta-press, Ben Sherman, dan sepatu brogues kini di pakai lagi, dan dikombinasikan
dengan bleach jeans dan Boots 10 atau 12 holes, potongan rambut kini kembali
agak di perpanjang dan tak lagi botak plontos seperti sebelumnya, Gaya tahun 1969 dengan
aksen tahun1977, bahkan Skinhead Reggae pun kembali populer dan biasanya di
putar oleh para DJ diantara gigs band-band Streetpunk.
Memasuki tahun 1978, Skinhead dan segelintir Punk kelas
pekerja yang kecewa dengan keadaan scene Punk saat itu semakin mengidentifikasikan
dirinya dengan band-band seperti Cock Sparrer dan Sham 69. Pergerakan Streetpunk bahkan semakin diramaikan oleh sebuah subkultur baru yaitu: Herbert,
anak jalanan yang tertarik dengan Streetpunk namun tidak mengklaim identitas
dirinya sebagai Skinhead ataupun Punk. Kebanyakan dari mereka adalah preman
jalanan. Lengkap sudah identitas Streetpunk! dengan adanya Skinhead, Punks, dan Herberts, Streetpunk benar-benar adalah sebuah musik jalanan bagi anak jalanan.
Namun sebenarnya tak ada satupun band Streetpunk saat itu yang seluruh atau
salah satu personilnya adalah Skinhead, walaupun sering kali mereka manggung
dengan memakai Fred Perry, Ben Sherman, Stapress ataupun Boots, hal itu juga
berlaku bagi Sham 69. Padahal Jimmy Pursey sang vokalis adalah seorang Skinhead
sebelum membentuk Sham 69. Di antara band-band Streetpunk saat itu mungkin
hanya Skrewdriver yang lebih memilih memakai dandanan Skinheadnya, terlepas
dari kenyataan bahwa Ian Stuart cs dulunya adalah seorang Punk.
Sham 69 adalah band paling
fenomenal di antara band-band Street Punk disaat itu. Jimmy cs adalah band Street Punk pertama yang mendapatkan kontrak dari label dan menarik perhatian
pers musik rock Inggris yang sebelumnya tak menghiraukan mereka. Band ini
didirikan dan dipimpin oleh seorang yang sangat kharismatik, cerdas, dan
mempunyai kemampuan berbicara yang luar biasa…Jimmy Pursey.
Di bentuk di Hersham
pada tahun 1966, band ini mengambil namanya dari sebuah grafiti Hersham 69 yang
kemudian disingkat menjadi Sham 69. Setelah setahun penuh menjadi band pembuka,
Jimmy memecat semua anggota asli bandnya, hal yang sangat mudah dilakukan
olehnya karena pada dasarnya Jimmy Pursey adalah Sham 69 itu sendiri. Ia
kemudian merekrut Dave Parson (gitar), Mark Cain (drums), dan Dave Tregana
(bass). Dengan personil yang hampir seluruhnya baru, band ini merilis debut
singlenya “I dont wanna” di bawah label Small Wonder. Mungkin akan sangatlah
sulit bagi siapapun yang membaca buku ini menemukan band yang setara
reputasinya dengan Sham 69, layaknya hampir tidak mungkin menemukan orang
sperti Jimmy Pursey di dalam sejarah musik Street Punk (dan Oi! Di kemudian
hari).
Sham 69 adalah band
pertama yang membuat para Skinhead menemukan lagi harga diri, kebanggaan dan
semangat jalanan yang sempat hilang beberapa waktu sebelumnya. Musik Sham 69
mungkin tak ada istimewanya jika di banding band-band Glam rock seperti Slade
ataupun Mott and The Hopple, namun ketika berbicara tentang lirik…tentu adalah
hal yang sangat berbeda. Coba saja dengarkan lirik lagu mereka seperti "Borstal
Breakout", "Angels with Dirty Faces", atau "If the Kids are United", Semua kata-katanya
tajam seperti pisau belati yang menghunjam ke dada siapapun yang
mendengarkannya. Di bungkus dengan musik yang membakar semangat dan chorus ala
yel yel di lapangan sepakbola membuat para Skinhead mengikuti Jimmy cs
layaknya ngengat mendekati api.
Datang ke gigs Sham 69 seperti datang ke
pertemuan keluarga, menjadi bagian dari Sham69 itu sendiri dalam pengertian
apapun. Tak sedikitpun Jimmy cs menunjukkan sikap “kami adalah rockstar dan
kalian adalah anak-anak yang memuja kami, sehingga kami lebih superior dari
kalian”.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah musik rock orang-orang yang datang
ke gig adalah sama derajatnya dengan band yang bermain di atas panggung. Dan
untuk pertama kalinya juga ada sebuah band Street Punk yang mempunyai pengikut Skinhead fanatis yang rela berkelahi melawan siapapun membela Jimmy cs. Dengan
bangganya mereka menyatakan bahwa mereka adalah bagian tak terpisahkan dari
Sham 69 dengan memakai patches angka 69 di dada dan jaket jeans atau
Harringtonnya, dan jika angka tersebut belum cukup mereka akan menambahkan tulisan
Sham Army di punggungnya. Benar-benar sebuah fanatisme yang membuat siapapun
berdecak kagum pada Jimmy cs.
Sing along adalah hal yang terlalu biasa terjadi di gig
Sham 69, tak jarang suara Jimmy hilang di telan suara koor penontannya, bahkan
lebih dari itu gig biasanya berakhir dengan stage invasion (penonton beramai
ramai naik ke panggung untuk bernyanyi bersama band). Jimmy adalah orang yang
sangat rendah hati dan ramah ketika berhadapan dengan fansnya, tak jarang pintu
dressing room di buka sehingga siapapun bisa masuk dan berbincang bincang
dengan Jimmy cs dan hal itu tetap di lakukannya bahkan ketika gig sudah
berakhir 2 jam yang lalu.
Jimmy memang sangat flamboyan dalam hal berdialog dan
membangun hubungan emosional dengan fansnya terutama para Skinhead, mungkin
karena dia pernah menjadi seorang Skinhead. Dia benar-benar percaya ia dan Sham
69 bisa merubah mereka, para fans Skinheadnya yang saat itu mulai disusupi
kekuatan politik sayap kanan. Semua itu di lakukannya hanya dengan membuka mulutnya
dan keluarlah kata-kata secepat dan selugas senapan mesin. Ia bahkan tak pernah
lulus SMA, namun siapapun yang pernah berbicara dengannya tahu bahwa senjata
dan aset paling berharga Jimmy adalah mulutnya, namun pada saat bersamaan
mulutnya itu jugalah masalah terbesarnya karena siapapun akan percaya pada
apapun yang di katakan Jimmy bahkan ketika ia sengaja mengatakan omong kosong
sekalipun.
Ia mampu menyihir lawan bicaranya dengan argument-argument yang
sangat masuk akal, kemampuan yang bahkan tak di miliki semua politikus di dunia
ini. Saat ia berbicara hampir tak ada yang bisa menghentikannya, benar-benar orang
yang cerdas dan berwibawa. Sayang, hal ini menjadi bumerang bagi dirinya
sendiri ketika ia berbicara tentang hal-hal seperti keberpihakan politik Sham
69 dan para pengikutnya. Jimmy mengatakan dengan tegas dan memberikan argumentasi-argumentasi
yang meyakinkan bahwa tak pernah terjadi kekerasan di gig band-band street punk
seperti Cock Sparrer, Menace dan tentunya Sham 69, selain itu juga tak ada satu
orangpun Skinhead fasis pendukung National Front ataupun British Movement yang
datang ke gigsnya. Media dan publik percaya pada apa yang di katakan
Jimmy, namun siapapun yang datang ke gigs Sham 69 saat itu tahu pasti bahwa
Jimmy berbohong.
Kembalinya Skinhead yang menjadi pendukung utama band-band Street Punk saat itu
memang cukup menjadi perhatian media terutama yang hanya mencari sensasi demi
menggenjot oplah koran dan tabloid mereka. Siapapun yang pernah hidup di akhir
dekade 60-an tentu tak lupa dengan kejadian sensasional seperti Bank Holiday di
Hasting atau Brighton , yang membuat Skinhead
dikenal reputasi kekerasannya. Anjing-anjing media itu mulai mengintai para Skinhead, memperhatikan setiap gerak geriknya, bahkan datang ke gig band-band Streetpunk
yang pasti penuh sesak oleh para Skinhead, Punk, dan Herbert. Mereka tahu cepat
atau lambat akan terjadi hal-hal yang sensasional, hal yang akan membuat foto
seorang atau segerombolan Skinhead sedang berkelahi atau di tangkap oleh polisi
menghiasi halaman pertama koran-koran seperti The Suns ataupun Sunday Mirror.
Salah
satu bukti lagi bahwa media tak pernah dan tak akan pernah bersahabat dengan
budaya Skinhead. Lalu akhirnya hal yang di tunggu-tunggu itupun terjadi…gig
Sham 69 berakhir dengan keributan besar di Redding Festival pada bulan Agustus
1978 antara sesama fans Sham 69 yang membuktikan bahwa apa yang pernah di
katakan Jimmy adalah omong kosong. Yang di jadikan kambing hitam tentu saja para Skinhead, padahal kerusuhan terjadi tak hanya pada gig Sham 69, tapi band-band
yang hampir tidak mempunyai fans Skinhead seperti UK Subs dan The Poison
Girlspun mengalami hal yang sama. Jimmy Pursey berusaha sekuat tenaga untuk
menghentikan perkelahian yang terjadi, namun keadaan benar-benar sudah diluar
kendali. Stage invasion kini sudah terlalu berlebihan, tak jarang setengah dari
penonton naik ke panggung sehingga sering kali gig harus berhenti karena Jimmy
cs tak mendapat tempat yang cukup untuk bermain. Selain itu gig Sham 69 kini
telah berubah menjadi arena pertumpahan darah demi membela nama kota , klub sepakbola yang
kau dukung, apa identitas budaya yang kau anut atau bahkan yang paling konyol
namun rumit…keberpihakan Politik.
Cock Sparrer dan Menace pun ternyata mengalami hal yang
sama, namun layaknya Jimmy, mereka tidak percaya kalau Skinhead adalah biang
keributan di gig mereka seperti yang di katakan media. Mereka tahu dan paham
betul tabiat kekerasan para Skinhead, tapi mereka tak percaya kalau Skinhead
menghancurkan gig band yang sudah mereka beli karcis masuknya. Memang sering
kali Skinhead memancing keributan dan melakukan Punk bashing layaknya Mod
bashing di tahun 60-an dulu, namun skalanya sangat kecil dan bisa di bilang
tidaklah lengkap sebuah gig tanpa terjadinya hal itu.
Keberpihakan politik adalah hal lain yang menjadi penyebab kerusuhan di gig
Sham 69. Kebanyakan Skinhead yang menjadi fans Sham 69 saat itu adalah
pendukung NF dan BM, dua organisasi sayap kanan yang menjadikan Skinhead
sebagai target utama perekrutan mereka. Semua orang tahu kalau Sham 69 tak
tertarik dengan politik dan segala tetek bengek yang melingkupinya, dan jelas
sekali kalau Jimmy tak pernah sekalipun mengeluarkan pernyataan yang mendukung
NF atau BM. Namun Jimmy cs juga tak mau memalingkan muka dari para Sham Army
yang telah mendukung mereka dengan setia apalagi melarang mereka datang ke gig
Sham 69. Jimmy lebih tertarik untuk beradu argumen dengan para pendukung NF dan
BM yang datang ke gigsnya, namun hal itu adalah hal paling sia-sia yang pernah
dilakukan olehnya.
Keadaan diperkeruh oleh tekanan dari Media dan organisasi
sayap kiri seperti Anti Nazi League yang menginginkan Sham 69 dan band-band Street Punk lainnya bermain di gig Rock Against Racism yang mereka koordinir
sebagai pembuktian pada publik bahwa mereka bukanlah pendukung NF ataupun BM.
Tujuan ANL memang tampak bagus di permukaan, namun di baliknya tidak sama
sekali. Band-band Streetpunk yang menolak untuk bermain di RAR akan di boikot
habis-habisan oleh ANL dan jaringan sayap kiri yang menguasai media musik rock,
radio dan perusahaan rekaman.
Ini membuat kita bertanya-tanya siapa sebenarnya yang
fasis. Sham 69 yang pertamanya menolak ajakan ANL akhirnya bersedia main di
RAR, bukan karena takut tapi ia berusaha menghentikan masalah dan tekanan dari
publik dan media. Sham 69 bermain di beberapa gig RAR, bahkan Jimmy sendiri
tampil bersama The Clash di ANL carnival di Hackney. Jimmy sadar bahwa ia dan
Sham 69 tak dapat merubah dunia, karena ia bukanlah politikus atau seorang
pemimpin, tapi ia precaya kalau ia bisa merubah para fansnya, setidaknya sebagian
dari mereka.
Keputusan Sham untuk bermain di gig RAR ternyata adalah sebuah
keputusan yang salah karena Sham tak hanya di peralat oleh organisasi kiri itu
untuk mencapai tujuan mereka, namun juga karena tanpa mereka sadari mereka kini
telah di cap sebagai komunis. Padahal jelas-jelas Sham tak pernah peduli dengan
keberpihakan politik. Akibat dari di capnya sebagai band komunis adalah semakin
menggilanya aktifitas sayap kanan di gig mereka, terutama jika mereka manggung
di seputaran London yang mempunyai pendukung NF dan BM paling banyak, hal ini
tentu saja mendapat respon yang keras dari para skinhead Anti Fasis.
Yang
paling menyedihkan pelaku utama dari semua aktifitas sayap kanan di gig Sham
adalah para Skinhead yang di peralat oleh partai politik untuk melakukan
pertarungan politik yang seharusnya terjadi di pemilihan umum, bukan di sebuah
gig. Oleh para fansnya yang merupakan pendukung NF atau BM Sham kini di anggap
telah berkhianat pada mereka, dan Jimmy adalah orang yang mereka persalahkan.
Semakin meningkatnya aktifitas sayap kanan di gig Sham membuat hampir seluruh
gig mereka berakhir dengan kerusuhan, bahkan bisa di bilang tak ada tempat di
Inggris yang aman buat gig mereka karena di mana ada Sham 69 di situ ada
perkelahian antara Skinhead sayap kanan dan Anti Fasis. Akibatnya tak ada
promotor di Inggris yang kini berani membuatkan gig untuk Jimmy cs. Satu-satunya
tempat aman bagi mereka untuk manggung adalah di luar Inggris dan Jimmy tak mau
melakukannya. Hal itu berarti tak ada gig untuk Sham, dan apalah artinya sebuah
band tanpa gig? Jadi akhirnya Jimmy cs memutuskan untuk membubarkan band
mereka.
Mereka lalu menkoordinir gig selamat tinggalnya Sham 69, gig ini di
adakan di Glasgow, London dan Finland . Gig
yang diadakan di Glasgow dan Finland
berakhir dengan baik-baik saja, namun gig di London yang di adakan di Rainbow Theatre
berakhir dengan kerusuhan besar. Kerusuhan di mulai dengan stage invasion yang
membuat panggung di penuhi oleh tak kurang dari 200 orang Skinhead. Entah siapa
yang memulai tiba-tiba saja Rainbow Theatre gegap gempita oleh teriakan Sieg Heil yang di ikuti dengan salam khas Nazi. Perkelahianpun segera terjadi, dan
emosi Jimmy yang telah sekian lama di tahannya akhirnya meledak, ia mengamuk
sejadi-jadinya dan berteriak di microphone: “Aku mencintai kalian, aku
melakukan semua hal untuk kalian, tapi yang kalian lakukan hanyalah
berkelahi..!!!”
Namun perkelahian tak berhenti sampai akhirnya Jimmy di
tusuk punggungnya oleh seorang Skinhead yang masih dengan bangganya memakai
badge Sham army di jaketnya. Akhir yang cukup tragis bagi band seperti Sham 69.
Kebencian NF dan BM kepada Sham 69 ternyata tidak berhenti sampai di situ,
bahkan setelah Sham bubar pun mereka masih tetap menunjukkannya dengan
menyebarkan isu bahwa Jimmy kini sudah menjadi seorang kelas menengah yang kaya
raya, dan Sham 69 telah sell out seperti band-band Punk 77 yang di kecamnya.
Rumor mengatakan bahwa Jimmy membeli rumah elit lengkap dengan kolam renang di
dalamnya seharga 130 ribu poundsterling. Tentu saja hal ini adalah bohong
adanya. Namun jika benar sekalipun apa salahnya? Jika Jimmy dan Sham 69 menjadi
kaya karena penjualan album dan gig mereka, jelas saja mereka pantas
mendapatkannya karena mereka telah bekerja keras untuk itu.
Pada kenyataannya
kesuksesan tidak membuat Jimmy lupa pada asalnya, sebagian uang yang di
dapatnya ia pergunakan untuk membantu kemajuan band-band Streetpunk lain untuk
memulai karirnya. Di antara sekian banyak band yang ia bantu di antaranya
adalah Angelic Upstart dan Cockney Reject, dua band Streetpunk yang kemudian
tak kalah legendarisnya di dunia Skinhead dengan Sham69.
Angelic Upstart
dibentuk pada musim panas tahun 1977, namun kehilangan hampir seluruh
personilnya pada gig pertama mereka, namun sang vokalis Mensi Merauders
berhasil membentuk kembali Angelic Upstart. Debut single mereka "Murder of Liddle Towers" dirilis oleh Dead Records dan kemudian di rilis ulang oleh Small Wonder. Band ini telah menunjukkan ke-antian mereka terhadap polisi dan
pandangan politik mereka sebagai band penganut sosialisme.
Angelic Upstart |
"Murder of Liddle Towers" yang menceritakan tentang
terbunuhnya seorang pelatih tinju oleh polisi tanpa proses peradilan menjadi
anthem perlawanan kaum jalanan terhadap tindakan sewenang-wenang polisi.
Angelic Upstart lalu menjadi sangat diwaspadai oleh polisi yang selalu muncul
di gig mereka mengawasi setiap tindakan Mensi cs. Hal ini membuat mereka di
boikot di beberapa tempat. Jimmy Pursey kemudian menawarkan Mensi cs untuk di
rilis di bawah label yang sedang di bangunnya yang bernama Wedge yang bekerja
sama dengan Polydor. Angelic Upstart menerima ajakan Jimmy, namun kerja sama
mereka tak berhasil dengan baik, dan akhirnya Mensi menanda tangani kontrak
dengan Warner_Bros.
Layaknya Sham 69, Angelic
Upstartpun terjebak dalam perseteruan politik sayap kanan dan sayap kiri, hal
tersebut karena kedekatan mereka dengan budaya Skinhead yang mulai terpecah dua
oleh pandangan politik. Walaupun Angelic Upstart adalah band Punk, namun image
band ini sangatlah Skinhead sekali, tak heran jika mereka selalu diasosiasikan
dengan Skinhead, dan diasosiasikan dengan Skinhead di saat itu sama artinya dengan
di cap sebagai band pendukung organisasi sayap kanan. Di tambah dengan
lagu-lagu mereka seperti "Spandau" dan "England" membuat mereka semakin di
cap sebagai band fasis. Jelas hal itu salah besar dan di bantah habis-habisan
oleh Mensi cs. Ia mengatakan mereka adalah sosialis jalanan yang cinta pada
negerinya.
Seperti halnya Sham 69, Mensi cs jelas sangat menentang organisasi
fasis seperti NF dan BM, namun mereka tak bisa melarang para Skinhead pendukung
sayap kanan datang ke gig mereka. Pertamanya mereka mencoba untuk melakukan
pendekatan moral dan mengajak para Skinhead sayap kanan itu berdialog, namun
ternyata itu tidaklah cukup. Pihak sayap kanan mendesak agar Angelic Upstart
memilih dan menyatakan keberpihakan politiknya, dan Mensi cs pun terpaksa
memilih untuk bermain di gig RAR daripada di cap sebagai band fasis, satu lagi
band Streetpunk menderita karena perseteruan politik.
Lalu nasib Angelic Upstartpun seakan sama dengan Sham 69,
band ini di tekan oleh pihak-pihak yang hanya ingin memanfaatkan Mensi cs demi
tujuan-tujuan politisnya. Kerusuhan terjadi di hampir semua gig mereka dan tak
jarang terjadi penyerangan terhadap mereka oleh pendukung sayap kanan, Skinhead
ataupun bukan, hal ini jelas membuat mereka frustasi. Angelic Upstart di cap
sebagai band komunis, saat itu memang ada sebuah peraturan tak tertulis yaitu
jika kau bukanlah Nazi, maka kau pastilah seorang Komunis. Benar-benar tidak
masuk akal karena sebenarnya tak semua orang peduli dengan pandangan politik
kanan ataupun kiri. Pengalaman buruk berupa tekanan-tekanan dari organisasi
sayap kanan ini membuat mereka kemudian sangat gencar melakukan kampanye dan
aksi-aksi perlawanan terhadap fasisme dan menyuarakan pandangan-pandangan
sosialisme mereka sebagai balasan terhadap NF dan BM. Sedikit demi sedikit
Angelic Upstart benar-benar menjadi Band sayap kiri.
Band berikutnya yang dibantu
oleh Jimmy Pursey adalah Cockney Reject yang di gawangi oleh dua orang kakak
beradik yaitu Micky Geggus dan Geof Geggus yang lebih di kenal dengan nama
Stinky Turner. Geggus bersaudara ini merupakan petinju amatir yang di satukan
dengan dua orang lainnya sebagai sebuah band oleh Vince Riordan mantan roadie
Sham 69. Kerja sama mereka dengan Jimmy Pursey dimulai dengan pertemuan Geggus
bersaudara dengan seorang wartawan majalah musik Sounds bernama Garry Bushell
di sebuah pub. Micky kemudian memberikan demo tape mereka, Garry yang tertarik
dengan musik mereka lalu memberikan demo itu pada Jimmy dan mengenalkan para
opersonil Cockney Reject padanya. Jimmy lalu setuju untuk memproduseri debut
single mereka yang berjudul "Flares and Slippres" yang di rilis di bawah label Small Wonders. Hidup mereka yang keras sebagai anak kelas pekerja yang hidup di
kawasan Ghetto East End di utara London
di tambah dengan latar belakang mereka sebagai petinju sedikit banyak
mempengaruhi tingkah laku dan musik mereka. Mereka menyebut musik mereka dengan
sebutan Ruck N’ Roll (we Ruck and you Roll), musik mereka yang lebih kasar
namun melodius dengan lirik-lirik berbau "Tough Guy" sangat menarik perhatian
ex-fansnya Sham 69 dan Menace, baik Punk maupun Skinhead. Namun tingkah laku
jagoan mereka membuat banyak Skinhead yang membenci mereka, tapi tak sedikit pula
yang menjadi pengikut setia Stinky Turner cs, terutama yang menghabiskan
waktunya untuk duduk di teras sepakbola mendukung West Ham United.
Layaknya gig band-band Streetpunk lainnya kadang di gig
Cockney Reject terjadi perkelahian, namun Stinky Turner cs dan para pengikut
fanatiknya selalu berhasil menghentikannya, ini membuat mereka sangat di
hormati di antara band-band Streetpunk saat itu. Media pernah mencoba
mengasosiasikan Cockney Reject dan keributan yang terjadi di gig mereka dengan
BM, namun tidak berhasil karena keributan di gig mereka punya penyebab
tersendiri yaitu hooliganisme sepakbola.
Keempat personil Cockney Reject
adalah hooligan West Ham dan selalu memastikan semua orang tahu klub sepakbola
apa yang mereka dukung. Di setiap penampilan mereka, panggung selalu di latar
belakangi oleh bendera Union Jack dan Bendera West Ham, mereka bahkan merilis
cover version dari lagu kebangsaan para Hammers (sebutan bagi pendukung fanatik
West Ham) yang berjudul "I’m Forever Blowing Bubbles" sebagai perayaan mereka atas
masuknya West Ham ke final Piala FA. I’m Forever Blowing Bubbles kemudian di
susul dengan anthem-anthem sepakbola mereka berikutnya seperti "We are The Firm" dan "War On The Terraces", yang dengan sangat berani mereka rilis di saat
keributan di gig karena hooliganisme sepak bola sudah keterlaluan.
Kebanggan mereka terhadap tim sepakbola kesayangan mereka West Ham inilah yang kemudian menjadi bumerang bagi diri
mereka sendiri. Kira-kira sebulan setelah di rilisnya "I’m Forever Blowing
Bubbles" terjadi keributan besar antara Cockney Reject dan pengikut fanatiknya
yang tentu saja Hooligan West Ham seperti mereka dengan 200an Skinhead pendukung
Millwall tim sepakbola yang gank hooligan (firm) nya merupakan musuh bebuyutan
Westham Bootboys di Cedar Club.
Keributan berakhir dengan Micky dilarikan ke
Rumah Sakit dan mendapatkan Sembilan jahitan di kepalanya, mobil van mereka di
rusak. Bukan itu saja, Micky kemudian di hukum masa percobaan selama enam bulan
dan didenda 500 pound.
Setelah kejadian itu mereka berusaha menghilangkan image
kekerasan pada band mereka, namun tidak berhasil, tour mereka di musim gugur
1980 mengalami keributan yang serius di gig-gig awalnya. Asosiasi mereka dengan
West Ham membuat mereka mustahil melakukan gig di luar East End London tanpa mengalami
penyerangan dari musuh-musuh mereka, dan tak satupun pihak yang dapat mereka
salahkan selain diri mereka sendiri.
Mungkin
ini salah satu penyebab mereka kemudian beralih menjadi band Heavy Metal. Namun
apapun yang terjadi pada mereka, band-band Streetpunk seperti Cockney Reject,
Sham 69, Cock Sparrer, dan Angelic Upstart, mereka telah menyalakan semangat
baru di dunia Skinhead, mereka memberi para Skinhead identitas lama mereka yang
sempat memudar.. Yaitu semagat jalanan. Walaupun selalu dijadikan kambing hitam
media, terjebak dalam perseteruan politik kanan-kiri, dan segudang masalah
lainnya, Streetpunk tak akan pernah mati selama masih ada anak-anak muda kelas
pekerja yang ingin menyuarakan realita kehidupan jalanan mereka yang keras.
Streetpunk telah membidani lahir kembalinya budaya Skinhead dengan segala
aspek pemberontakannya, dan kini adalah waktunya bagi mereka meneruskan
pergerakan musik ini dengan sesuatu yang lebih mengancam dan itu adalah musik
Oi!.. Musik jalanan yang menyuarakan suara jalanan dan dimainkan oleh kaum
jalanan dengan Boot dan Bracesnya yang dalam perjalanannya sempat menggetarkan
Inggris dan kini mendunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar